Dr. Ronsen Pasaribu (Pegang mic) saat hadiri perayaan ulang tahun Perkumpulan Naposo Naimarata Jabodetabek |
Oleh:
Dr. Ronsen Pasaribu
LIMBONGSON.MY.ID - Bagi sebagaian anggota Naimarata jaman now, masih menempatkan Naimarata sebatas cerita masa lalu yang manfaatnya nyaris tak terasa. Butuh waktu untuk menjelaskan sejarah Naimarata bahkan tidak jarang juga beradu argumentasi.
Jika dilayani berargumentasi, ada yang terbatas pengetahuan dan jawabannya tapi diam diam dalam hati semuanya menerima sebab bicara cerita keluarga sendiri pasti menempatkan dirinya dalam cerita itu. Menjadi bagian dari masalah, jauh lebih baik dari pada dirinya diluar masalah yang ada, sekalipun hanya cerita.
Sering saya menghindari perdebatan yang meruncing, tetapi selalu mengedepankan sikap, perilaku dan hal apa saja yang dapat berguna dalam kehidupan sehari-hari. Azas manfaat ini jauh lebih berguna katimbang hanya retorika sejarah yang bernuansa perbedaan apalagi permusuhan. Ini suatu perjuangan kita, saya tidak mengatakan sebagian orangtua, tetapi perubahan sikap lebih mudah dilakukan di generasi muda (zaman Now) mengingat mereka memiliki idealisme baik secara ilmiah maupun pengetahuan tarombo dan adat istiadat.
Sedangkan sebagian orangtua, sudah memiliki sikap keberpihakan, ditengah keterbatasan waktu, daya dan dana, bila bergabung dalam punguan NAIMARATA. Tulisan terdahulu, disimpulkan Naimarata adalah punguan Hasadaan Ompu Guru Tatea Bulan, sedangkan punguan derivatifnya atau berlatar belakang punguan “Satu” Ompung atau “satu Kampung berdasarkan teritorial”, sebentuk perwujudan dari kesatuan Naimarata itu sendiri.
Membuktikan Naimarata bukan hanya cerita masa lalu, lebih baik kita bisa bersaksi atau menyampaikan “testimoni’ pribadi untuk menguji apakah memang Naimarata hanya teori semata?. Sekali lagi, kurun waktu yang lama, sejak mahasiswa dimulai Tahun 1975 lalu di Univ. Kristen Satya Wacana Salatiga, saya belum tahu Naimarata tapi ternyata sudah merasakan apa manfaat Naimarata. Sebagai anak muda yang masih usia duapuluhan tahun, tentu sama dengan adek adek sekarang seusia saya, berfikirnya masih belum tahu banyak akan tarombo kita.
Ada beberapa marga yang bersentuhan dalam interaksi selama mahasiswa, Namboru Konta Damanik, dosen Fak Ekonomi UKSW, (saya mahasiswanya), Dharma Damanik (sekarang Hakim di Medan), M.Sagala S.Psi, kakak beradik, teman satu kost, Fak. Malau (Fak Hukum), Sahala Manik/Direktur BNI terakhiir (teman kost) , Kislon Manik (BUMN), Beberapa Marga Pasaribu, baik laki dan Perempuan. Singkatnya tanpa banyak martarombo-karena rata rata kami tak bisa martarombo, hanya sebatas tahu kita bersaudara, dalam keseharian.
Namboru Alm Kota Damanik (Simalungun), selalu memanggil “bapak” diluar kampus bahkan jika ada giliran jaga malam di komplek perumahan dosen, langganan saya dipanggil dan tidur dirumahnya. Tapi, jika di kampus, sering diledeki kalau dalam forum Dosen FE selalu melibatkan mahasiswa dalam pengambilan keputusan dimana saya sebagai wakil mahasiswa selaku Ketua Senat Mahasiswa waktu itu.
Saudara sesama mahasiswa yang diatas, dalam keseharian selalu berkomunikasi dengan panggilan sesuai urutan di Naimarata, abang, amanguda, anggi, iboto dan lainnya. Kami selalu kompak merasa nyaman sesama saudara. Bila ada yang sakit, saling membantu. Bila ada kepepet keuangan, belum ada wessel, saling mengutangkan.
Seringnya bertemu di Kampus dan di Gereja, membuat hubungan itu semakin terasa, melampaui hubungan formal satu marga. Bahkan hubungan satu marga, dipandang otomatis tapi satu marga Naimarata, hampir tidak berbeda dengan perasaan di Naimarata, ini pengalaman selama 7 tahun bermahasiswa, sejak 1975-2002.
Sejak berkeluarga dan bekerja di Surabaya, sejak 1983, tentu berbeda komunitas Naimarata yang sudah berkeluarga. Surabaya daerah parserahan, jauh dari Bonapasogit, berlanjut juga “perasaan persaudaraan itu”. Saya jadi tidak kagok, kaget atau rasa sepi dengan Naimarata.
Sebut saja, bertemu dengan Amanguda St. M.C.Batubara (TNI) bersama putri-2nya Guru Sikola Minggu di HKBP dimana anak anak saya sbg murid Sikola Minggu. Ito br Matondang/nialap ni lae Siregar (sintua HKBP), B. Tarihoran (Ketua Naimarata Surabaya dan sekitar), Keluarga Pasaribu (Habeahan, Bondar, Gorat); Kol A. Limbong (satu Gereja), Kislon Manik (eks NHKBP Salatiga), Gurning, Sagala, Harahap dan sebagainya.
Adanya punguan Naimarata, sangat membantu kita untuk mengekspresikan adanya kesatuan dan persatuan baik dalam suka maupun duka. Tak pernahpun ada perdebatan (apalagi sengit) antar anggota, sementara punguan yang bersifat derivatif seiring sejalan dalam kurun waktu bersamaan.
Ada Punguan Batubara (boru-bere), Punguan Pasaribu (boru-bere), Punguan Limbong (boru-bere) dan lainnya se Surabaya dan sekitarnya. Jadi, apa yang kita tehaui sejak muda, nyata bahwa Naimarata itu memiliki daya ikatan luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Tidak bisa dibantah, walau terkadang tidak dikemukakan terus terang tapi bisa dirasakan.
Saat dinas di Medan dan Jakarta, terutama pertemuan sesama dalam ikatan Naimarata. Yang terasa, ada Marga Limbong di Kejaksaan Agung, selalu melindungi dan tidak tampak garang ketika melakukan tanya jawab dengan saya (mewiki instansi), dalam pengakuannya “Bapak tuakku do hamu”, disela acara berlangsung. Bomer Pasaribu, SH (sekarang Dubes), saat menteri, kutemui di Kantornya Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (waktu itu) padahal hanya semata karena satu marga.
Saya diterima diajak makan siang berdua didalam ruangannya. Semenjak itu, kami tegur sapa diacara acara resmi, antar instansi. Ada teman sekantor (staf saya), Amry Rangkuti, di Medan dan berlanjut beliau Kepala Kantor Pertanahan Kota Sibolga, khusus saya kunjungi dan beliau menerima dengan sangat antusias padahal, dia tak tahu Naimarata secara mendalam. Begitu Pdt. Richard Daulay, tiap ketemu menyampaikan akan ikatan keluarga.
Terakhir, akhir akhir ini, bertemu dengan Mutiara Marbun, istri dari Bapak Tarihoran (alm), begitu setia bersama saya di Forum Bangso Batak Indonesia, bersama Toni Limbong (Pemred Harian Jaya Pos). Beberapa saudara Ambarita di Samosir, St. Matondang, Sagala (HKBP Petojo) dan lainnya. Artinya sama, keseharian yang diwarnai rasa kekeluargaan, sebab baik panggilan dan kerelaan berkorban, diwujudkan karena ada rasa satu darah, satu marga dan satu turunan.
Tentu, banyak yang belum saya sebutkan di artikel ini, saya mohon maaf hanya karena keterbatasan ingatan saat ini sehingga tidak turut serta dituliskan. Semua mutadis mutandis, sepanjang satu marga di Naimarata anggap sudah disebutkan.
Banyak tokoh Nasional dari NAIMARATA yang sudah mewarnai perjalanan Negeri ini, Bapak Adam Malik Batubara, Wakil Presiden RI jaman Soekarno jadi Presidennya. Jabatan puncak kebanggaan kita. Akbar Tanjung, Menteri Setneg dan Ketua Golkar (senior Golkar sampai sekarang), Faisal Tanjung (Pangab TNI), Bupati Tapsel, Syahrul Pasaribu, Panusunan Pasaribu (tokoh Sumatra Utara) , Alm Patuan Oloan Pasaribu dari Sigolang–keluarga kami- (Tokoh Pejuang Kemerdekaan di Jalan Abd Lubis 8 Medan), Alm Gustaf Pasaribu, SH.
Terakhir Ketua PTUN Medan, Donna Pasaribu,SH (Ketua PN Gn Sitoli-sekarang), Maruli Tua Sagala, Mantan Dubes di Eropa, Firman Pasaribu (mantan Petinju) dan banyak lagi. Walau tidak secara langsung kita kenal, tetapi patut kita berbangga bahwa ada tokoh Naimarata yang maju membawa nama baik keluarga kita dan Negara ini.
Simpulannya adalah memang interrelasi personalia antar marga di Naimarata, tanpa disadari ada rasa persaudaraan yang diikat dengan turunan satu Ompu Guru Tatea Bulan. Ternyata Naimarata itu ada dalam keseharian kita, dia dibutuhkan tanpa kita cari atau paksa paksakan, secara alamiah Naimarata itu bekerja dialam diri kita.
Oleh karena itu kesimpulan kedua adalah dalam perspektif Dalihan Natolu, maka sesama turunannya sedapat mungkin saling mengasihi baik dalam suka dan duka. Ketiga, jika ada perbedaan pandangan, itu sebatas kekurang informasi saja, persamaan itu jauh lebih besar dari perbedaan. Terakhir, "jauhkan sedapat mungkin" kawin mawin antar satu marga apalagi sesama saudara (incert), itu pantang di paradaton serta kemasyarakatan dan tidak sehat secara biologis.
Hidup NAIMARATA.
Surabaya, Minggu, tanggal 18 Feberuari 2018, pkl. 12.00 WIB.
Ditulis oleh Ronsen LM Pasaribu/br Ritonga- Bapak Sando.
Ditulis oleh Ronsen LM Pasaribu/br Ritonga- Bapak Sando.
Penulis: Dr. Ronsen Pasaribu
Editor: Admin
Editor: Admin
إرسال تعليق
Silahkan beri komentar...